Jumat, 04 Juni 2010

nalar spiritual pendidikan

Bagian Pertama
PENDAHULUAN

Islam bagi kemanusiaan
Secara Normatif Islam mengajarkan kepedulian kemanusiaa yang jauh lebih penting dari dan atas ritual pada Tuhan. Melalui ajaran ini kesalehan seorang muslim hanya akan mungkin dicapai jika Tuhan. Selain itu, seorang muslim akan mengenal Tuhan dengan baik jika ia juga mengenal secara baik kemanusian dirinya dan kemanusiaan pada umumnya.para rasul tuhan di utus kemuka bumi untuk menebarkan kasih sayang (rahmat bagi semua manusia dan seluruh alam makhluk ciptaan Tuhan.
Dengan jelas Islam (Al-Quran dan Sunah Rasul) mengajarkan bahwa kesalehan akan diperoleh seseorang jika ia bisa memberikan kepada orang lain apa yang paling baik bagi dirinya. Hanya orang beriman yang bisa menghormati tetangga tetangga dan tamunnya. Dan Tuhan akan menjadi penolong seseorang jika ia menjadi penolong sesamanya. Semua kepedulian kemanusiaan itu harus diberikan tanpa memandang batasan formal keagamaan.
Permasalahannya menjadi lain ketika tafsir elite agama (ulama) tentang ajaran itu dipandang sebagai kebenaran tunggal dengan kesempurnaan mutlak seperti keyakinan terhadap kebeneran dan kesempurnaan Tuhan (Allah) itu sendiri. Tafsir dan aJaran lain bukan hanya salah, tetapi dipandang sebagai ancaman terhadap nasib pemeluk islam di dunia dan sesudah kematian kelak. Kemanusiaan dan pemihakan kemanusiaan hanya terletak di dalam tafsir sepihak tersebut. Bagi seorang Muslim yang saleh untuk menerima dan mengapresiasi HAM kecuali hal itu terletak didalm tafsir tunggal tersebut. Bahkan jua tidak bisa disadari adanya Pluralitas penafsiran atas sebuah teks ajaran justru diantara ulama apalagi diantara pemeluk Islam kelas awam.


Oleh karena itu, tidak ada pluralitas didalam doktrin Islaman kecuali ia dipandang sebagai ancaman. Agama dan Tuhan telah berubah dari harapan kemanusiaan menjadi suatu yang menakutkan dan ancaman bagi kaemanusiaan itu sendiri. Kesalehan kemudian berubah dari kepedulian pada kemanusiaan menjadi sebuah kesibukan ”mengurusi atau membela Tuhan” yang sebenarnya tidak perlu diurusi. Bukankah manusia dan alam ini seluruhnya adalah ciptaan Tuhan itu sendiri? Bagaimana mungkin makhluk ciptaan tuhan bisa membela dan mengurusi tuhan? Bukankankah kehadiran Tuhan dengan agama-Nya justru agar manusia bisa hidup sejahtra?
Sejarah islam yang mulai muncul beberapa abad sesudah Rasul Muhammad Saw wafat pada ahir abad ke-7, pemikiran kritis pada masa itu kemudian ditindas secara teologis ataupun politis oleh penguasa islam. Kekerasan teologis tersebut menjadi semakin membeku dan menjadi sebuah ideologi “jihad” dalam gerakan modernisasi disekitar abad ke-13. Hal ini makin mengeras sesudah kekalahan politik islam dan perang salib dengan runtuhnya Bagdad sebagai simbol kekuasaan politik islam. Islam bukan hanya tampil dalam wajah Syar’iah yang eksklusif, kaku dan keras, tetapi juga cenderung reaktif yang memandang perbedaan dan apa yang diluar dirinya sebagai ancaman nasib pemeluk islam secaraekonomi-politik dan nasib sesudah kematian. Dengan kata lain islam adalah agama yang mengatur seluruh kehidupan Aspek manusia.
Bagian Kedua
OTONOMI MANUSIA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Globalisasi peradaban yang meluas beriringan dengan demokratisasi dan tuntutan penegakan HAM, tidak hanya mengubah tatanan budaya dan mengubah perilaku manusia, melainkan juga mendorong munculnya berbagai gagasan baru keagamaan (religiusitas), spiritualitas dan nilai-nilai sosial. Pada gilirannya hal ini memberi pengaruh yang signifikan pada kerja pendididkan, seperti halnya dihadapi oleh apa yang selama ini dikenal sebagai “pendidikan Islam.” Tidak bisa lagi dihindari tuntutan redefinisi dan rekonsrtuksi pendidikan islam di tingkat gagasan dasar hingga tekhnik belajar mengajar selain tujuan yang hendak di capai serta kurikulum dan materi atau bahan ajar didalamnya.

Religiusitas Budaya Kontemporer
Media dan tekhnologi informasi berfungsi mempromosikan hal maksiat atau ma’rufat, tergantung siapa yang menguasai keduanya. Ditengah suguhan iklan yang didalam doktrin keagamaan klasik dipandang maksiat pada jam-jam laris, muncul berbagai liris lagu yang bersumber dari syair keagamaan, selain tayangan dialog spiritual pada jam-jam saat orang masih atau sudah tidur lelap. Produk hiburan dan humor pun terus marak, selaain bernuansa norak penuh eksploitasi daya seksual, tetapi juga menyuguhkan kritik sosial dan spiritual.
Dalam ekstirm kebaikan keburukan, ma’ruf-maksiat yang ramai seperti sekarang ini, remaja berada pada posisi paling rentan. Para pihak memamdang remaja sebagai manusia “setengah jadi” dan penuh pesona. Masa depan seseorang ditentukan oleh cara hidup pada masa remajanya ini. Cara pandang ini tampak dari pepatah Arab “Syubban al Yaum Rijaal ul Ghod” atau pun dari kata-kata bijak lainnya.
Daya pesona dan vitalitas di satu sisi serta kebelumjadian dirinya membuat remaja melihat dirinya dalam dua dunia citra dengan relaitas diri dan sosialnya. Psikolog sering melukiskan dilema ini sebagai fenomena dan momen krisis jatidiri. Tampaklah dua remaja yang serba tanggung dan membuatnya mudah dipengaruhi hal-hal serba baru yang ditanyangkan dunia citra iklan. Gejala diatas, bukan hanya karena dunia Barat mempunyai ideologi tersembunyi dalam berbagai perkembangan IPTEK, tetapi juga karena dunia lain selalu kalah bersaing menjajakan ide-ide budaya yang menarik bagi remaja.





Bagian Ketiga
KESALEHAN FUNGSIONAL DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Spiritualitas Ke-nusantarana-an Ditengah Perubahan Sosial
Ketahanan suatu ide dan pandangan atau paham di dalam diri orang atau kelompok sosial ditentukan oleh posisi dan seberapa ia berakar di dalam “dunia bathin”-Nya, wawasan nusantara yang hanya sebagai konsensus politik atau hasil pemikiran, mudah pudar bersama perubahan sosial dan wawasan hidup seseorang, wawasan nusantara akan tetap segar jika memiliki daya spiritual dan kesadaran di dalam diri orang atau warga bangsa “Wawasan Nusantara”.Seharusnya selalu disegarkan kembali dan didialogkan bersama seluruh warga suatu bangsa tersebut.

1. Etika Indonesia Baru, Tuhan Pun Tak Perlu Diurus
Orde baru yang runtuh pada tahun 1998 oleh gerakan reformasi yang dimotori Mahasiswa, menendai era baru kehidupan kebangsaan yang lebih demokratis dan berkeaadilan. Gerakan reformasi memang membuka peluang bagi tumbuhnya alam baru kehidupan kebangsaaan itu, namum bukan berarti otomatis seluruh dinamika politik nasional berkesesusaian dengan dasar dan pesan etik dan moral reformasi. Perkembangan politik nasional akhir-akhir ini belum menunjukan arah yang jelas ke arah idealitas reformasi.
Idealitas pemerintahan yang bersih dan transparan, kehidupan politik yang demokratis, penegakkan hukum, keadilan sosio-politik-ekonomi bagi rakyat kebanyakan adalah tahap perubahan transformatif. “Indonesia Baru” yang demokratis dan bermartabat, berkeadilan dan sejahtera, perlu sejumlah prasyarat budaya. Dari sini, reformasi merupakan format transformasi kultural berbasis etika kemanusiaan parenial dan berkerifan tradisional. Namun reformasi bukan jalan lapang dimana semua masalah tampak jernih dan terang “Indonesia Baru” Juga bisa berupa “Lorong Gelap”
Ironinya, tradisi keagamaan gagal ditempatkan sebagai penguat bagi pembelaan manusia dan rakyat yang miskin.dan menderita serta terancam. Lebih ironis, publik terangkap menjadikan nilai kultural keluarga sebagai dasar etika sosio-politik dan ekonomi. Akibatnya, perbedaan pendapat, partai, agama dan etnis sebagai lembaga konflik, sulit memahami pandangan dan kritik pihak lain secara jernih dan objektif.
Indonesia Baru harus dibangun diatas basis etika kerifan di dalam pluralitas kemanusioaan. Seluruh teori dan praktik politik, kenegaraan dan keamanaan diletakkan sebagai usaha konseptual bagi promosi kemanusiaan perbedaan adalah dasar bagi pengembangan dialog mencari konsensus bagi kesejahteraan sosial, ekonomi polotik, dan keagamaan.

a. Premanisme Konflik Dan Akar Budaya Indonesia
Rumitnya jalan demokrasi sesudah runtuhnya ORBA 21 mei 1998 bisa dijelaskan dari akar budaya negri seribu etnis ini selama masa kemerdekaan bangsa ini tidak mempunyai ruang manifestasi dibawah doktrin nasionalitas dan kebangsaan. Ruang manifestasi budaya itu mulai terbuka sesudah gerakan reformasi. Namun, bangsa ini tidak mempunyai mode manifestasi dan sistem yang ada tidak memberi toleransi maka munculah berrbagai bentuk disintegrasi (konflik).
Para elite terus muncul dengan berbagi pernyataan saling bertentangan dengan tokoh politik hal ini ditunjukan dalam temu muka dengan tuan rumah raja Yogya. Masyarakat seperti terbius seolah temu muka dengan elit Yogya itu bisa menyelesaikan semua krisis. Masing-masing elit dan pendukung setianya memandang dirinya berada dijalur konstitusi dan reformasi yang demokratis.
Tindak korupsi yang merajalela selama ORBA bersama KKN yang dilakukan elite tidak hanya sulit diberantas tetapi jua cendrung terus berlangsung. Masyarakat sulit mempercayai aparat penegak hukum karena di mata mereka aparat justru senantiasa berdiri tegak membela kelas kuasa. Muncul gejala premanisme di tengah masyarakat yang selama ini dikenal religius yang mayoritas memeluk Islam. Masyarakat penduduk Indonesia memang memeluk agama Islam namun, perilaku hidupnya dipengaruhi banyak faktor antara lain: etnisitas, geo-budaya dan kelas.

b. Kearifan Negarawan Dan Kerakyatan
Suhu politik tampak memanas menjelang ST (Sidang Tahunan), kekritisan DPR dan MPR pada presiden kurang atau tidak produktif ketika tiap kritik dicurigai menyimpan agenda “siliuman”. Masih segar di ingatan bagaimana Gus Dur mengecam anggota DPR seperti TK (Taman Kanak-kanak) saat meminta penjelasan likuidasi beberapa departemen di awal pemerintahannya. Berbagai kebijakan Gus Dur dipandang kontroversial dan tidak konsisten sehingga segera mendorong DPR menggunakan hak “interpelasi”.
Membuka kesadaran dan pikiran adalah dasar kearifan negarawan dan kerakyatan encari titik temu konsensus pembebasan bangsa dari krisis yang meluas menjadi krisis budaya. Kearifan adalah kemampuan dan kesediaan melihat jauh, menerobos batas struktur sosial-budaya, politik dan keagamaan.

2. Akar Budaya “Lingkaran Setan” Perilaku KKN
Pemberantasan KKN merupakan agenda reformasi paling rumit yang hingga kini belum menandakan kejelasan. Keberhasilan pemberantasan KKN tergantung keberanian elite yang jujur ke diri sendiri, sistemnya jelas dan rasional, sanksi hukum yang tegas, sanksi sosial yang keras, jika perlu amputasi sosial. Karena itu, kontrol dan transparansi dari tiap kebijakan dan tindakan pejabat pemerintah penting dilaksanakan sebagai kebaikan publik dan syarat fungsional.
a. Memahami Akar Sejarah KKN
Etos “mangan ora mangan asal kumpul” yang mencerminkan ide kesatuan, sekaligus juga etika nepotis yang meraambah ke kolusi dan korupsi. Kondisi budaya KKN bisa ditelusuri pada latar sejarah keterjajahan lebih dari 3 abad, sehingga bangsa ini kurang terbuka dan percaya pada sistem. Selain itu, seperti negeri lain, sejarah kerajaan dan sosial seperti pesantern dan usaha ekonomi, adalah usaha keluaarga. Negara dan kekuasaan dipercaya sebgai sesuatu yang sakral dan hanya bisa sdisentuh oleh orang-orang khusus. Yang memang sudah di takdirkan untuk berkuasa. Raja adalah representasi dari kekuasaan tuhan, atau ketuhanan.
Birokrasi dan birokrat ditetapkan sebagai pelaku yang serba benar dan baik demi kepentingan bersama dan rakyat. Gaji seorang pegawai bukan karena pekerjaan jasa layanan pemerintah tapi karena pegawai. Layanan publik dianggap sebagai hak pegawai menerima “hadiah” dari yang memeperoleh layanan. Tugas poko pegawai justru melayani pemerintah/atasannya. Sehingga muncul paradoks ketika publik memberi “hadiah” lebih dahulu baru layanan publik dilakukan pegawai. Jadilah KKN sebagai mutualis simbiosis asal saling untuk “lingkaran setan”, sehingga masyarakat memberi peluang KKN. KKN sering dilakukan sebagai kebaikan atau darurat pada tataran tertentu sering memperoleh pembenaran budaya dalam arti ada nilai-nilai sosial yang membiarkan, mendororng, dan mengharuskan. Hal ini adalah akibat karena manusia tidak dapat hidup sendirian.
b. Nilai-Nilai Kultural KKN
Penempatan jabatan sebagai kehormatan berlebihan merupakan kondisi efektif nilai-nilai budaya berfungsi menumbuhkan KKN. Birokrasi menjadi rasionalisasi feodalisme elitis dan sistem rasional yang terbuka menjadi tidak berfungsi. Nilai-nilai berikut ini bisa mendorong korupsi “Nilai robinhood; rasa etik membantu rakyat dari KKN. “nilai sukses dan takut gagal”; mendorong penyimpangan agar tidak di peramlukan secara sosial. Nilai efisiensi; bagi tujuan promosi jabatan dalam tempo singkat, tidak sabaran antri. Nilai hedonis; kekuasaan materiil, meletakan pangkat dan harta sebagai ukuran sukses.
Nilai balas jasa; wajib berterima kasih/memberi hadiah materiil. Nilai individualis; peletakan oknum lebih penting dari sistem. Nilai feodalis; memandang elite lebih penting dari massa. Niai teologis; jabatan atau nasib sebagai takdir (tibaan) tanpa tanggung jawab publik. Nilai magis pembujukan tuhan; melalui perantaraan elite, sehingga ketentuan hukum tergantung penafsiran elite. Nilai-nilai yang mendorong kolusi, berikut ini sekaligus berkelindan dengan nepotis, yakni nilai kesetia kawanan, kekeluargaan, dan kepercayaan.


c. Keluar dari Lingkaran Setan
Revolusi harapan atau revolusi mental perlu dipertimbangkan dalam menghadapi persoalan diatas, reformasi hukum (legal-formal) dan politik semata masih perlu diperkuat reformasi budaya dan etika sosial.
Reformasi budaya menimbulkan kesadaran etik, kesusialaan, kepatutan, dan norma hukum (pasal 1 ayat 6). Namun, perlu sistem sosial yang disadari publik. Kelambatan pemberantasan KKN Adalah akibat asas ini tidak tumbuh secara sistematik. Juga, akuntabilitas dan keterbukaan (pasal 3 ayat 1-7). Tanpa etika ini, penegakan hokum pun dilakukan menghindari kemungkinan “menimbulkan aib” yang bersangkutan dan keluarganya (TOR hal. 3). Sebaliknya, aib harus dijadikan dasar bagi tumbuhnya system social yang efektif dan rasional. Dalam UU No. 8 Tahun 1999 Pasal 5 perlunya dinyatakan bernegara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat.
Pasal ini juga menyatakan penyelenggaraan Negara harus “melaporkan dan mengumumkan kejayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat. Peran masyarakat memberantas KKN pasal 9: “ hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara Negara.


3. Prasyarat Budaya Kemandirian Masyarakat Warga
Berbagai istilah politik, sosial, dan ekonomi cenderung dipakai aktivis Islam untuk maksud ganda. Di satu sisi sebagai petunjuk kesesuaian islam dengan ide-ide social popular. Namun, disisi lain dipakai untuk menjelaskan norma sosial islam yang lebih unggul dan benar dibandingkan semua ide dari pengetahuan modern. Berbagai ostilah demokrasi, masyarkat madani (sipil), HAM, kemandirian, dan pluralism cenderung dipakai bagi arti yang di biaskan tersebut.
Konsep sosial yang dasar ontologisnya bersumber dari dinamika sosial, hanya benar dan baik sepanjang bisa dicari rujukannya al Qur’an dan as Sunnah atau pemikiran Ulama. Disinilah pentingnya meletakkan konsep paralelitas ayat qauliyah dan kauniyah al Farabi (Rahman, 1984), sebagai dasar pengemabangan dasar pengembangan konsep dan praktik demokrasi yang bisa menjembatani kebenaran teologis dan sosiologis.
Konsep kemandirian warga dalam tata ruang Negara-bangsa, penting dikaitkan dengan kritik atas ide “masyarakat sipil” dan “masyarakat madani” serta “masyarakat utama”. Fakta historis masyarakat madani adalah masyarakat yang hidup dibawah kendali Nabi Muhamad SAW pasca hijrah disekitar tahun 621 M sementara masyarakat sipil mengambil fakta historis dalam kehidupan warga sekitar abad ke-18 di kawasan eropa, khususnya yang karya adm fergusen bersamaan revolusi industri dengan ilmu pengetahuan ( GELNERR, 1998). Di konteks Muhammadiyah ide masyarakat utama makna dan fungsinya sama saja dengan masyarakat islam yang sebenarnya. Hal ini dapat dilihat dari AD Muhammadiyah ide masyarakat utama bisa dikaitkan dengan ide “Negara utama”.

4. Jalan “baru“ Solidaritas Muslim Bagi Kemanusiaan
Peran Muslim dalam peradaban baru di abad-abad mendatang, lebih mungkin dirancang dan digagas jika berbagai problem dirinya bisa dijernihkan dan dipecahkan. Masalah ini lebih disebabkan karena pemeluk Islam sibuk dengan dirinya sendiri yang tak pernah jelas dan terpecahkan. Konsensus atau negosiasi di atas bisa dilakukan untuk kepentingan sosial kolektif komunitas Muslim dalam beragam madzhab. Dengan demikian terbuka bagi Sunnis atau Syi’is, Sufis, Ahmadiyah, NU atau Muhammadiyah dan aliran lain untuk bisa saling belajar mengenai pengalaman kegagalan atau kesuksesan masing-masing.
Krisis negeri ini cenderung menjadi semakin ruwet justru ketika agama terlibat dan dilibatkan dai dalamnya. Jika saja ajaran agama dapat diletakkan dalam peta kebudayaan, banyak krisis dan konflik yang bermula dari masalah sosial, ekonomi dan politik yang kemudian memasukiwilayah keagamaan, akan bisa diurai dan dicarikan jalan pemecahan. Sayang, pikiran dan usaha demikian selalu ditolak dan dipandang melecehkan dan Tuhan itu sendiri.
Konflik yang antara lain mendorong tindak kekerasan itu justru bisa dipandang sebagai bagian pemenuhan ajaran Tuhan. Kesalehan kemudian dipandang bisa dicapai dengan tindakan “anti kemanusiaan” itu sendiri.Kegiatan keagamaan cenderung kurang memberi apresiasi masalah kebudayaan dan kurang peduli berbagai masalah sosial dan kemanusiaan. Tanpa pencerahan kebudayaan dalam keagamaan,
konflik keagamaan masih akan meluas, lebih keras, eksplosif dan passif. Klaim kemutlakan dan ketunggalan keagamaan sering tidak konsisten. Kegaiban Tuhan justru mengandaikan tidak ada tafsir yang benar-benar representatif karena hal itu bisa berarti meniadakan kegaiban atau kemahaunikan dan kemisteriusan Tuhan itu sendiri.
Tuhan dan agama-Nya yang tunggal itu terbuka bagi penafsiran yang beragam dan berbeda, bahkan bertentangan. Anehnya, setiap pemeluk cenderung melakukan klaim kemutalkan yang mustahil didialogkan, dikompromikan dan diadaptasikan dengan berbagai persoalan aktual yang muncul sesudah suatu klaim dinyatakan. Ajaran agama kemudian diyakini bebas dari intervensi budaya yang dipandang merusak ajaran agama dan melanggar perintah Tuhan.
Orang pun menjadi tertarik jalan sekuler yang ternyata juga tidak mempunyai pengalaman cukup cerdas menyelesaikan konfllik. Namun, setidaknya ada pintu dialog bagi setiap orang melakukan konsensus, karena keagamaan pada akhirnya adalah produk dinamika sosial penganutnya. Melihat berbagai gejala konflik dan sikap elite agama tersebut adalah penting untuk secara jujur dan terbuka melakukan kritik terhadap format keagamaan yang selama ini berkembang dan disosialisaikan melalui berbagai kegiatan dan lembaga keagamaan.
Agama baru mungkin terpaksa akan lahir, ketika praktek keagamaan dari agama-agama besar dunia tampak enggan terlibat dalam penyelasaian banyak masalah kemanusiaan. Tradisi keagamaan yang selama ini cenderung elitis tidak lagi sesuai dengan penegakan , dan demokratisasi yang justru bisa menghambat. Kesenjangna surgawi yang di sebabkan oleh kesenjangan sosial, ekonomi dan politik diatas, sudah muncul dalam sejarah awal agama-agama besar dunia. Hal serupa juga bisa dibaca dari sejarah risalah kenabian Muhammad SAW.
Suatu saat, pada sahabat Nabi yang miskin menyampaikan protes karena kemisikinannya mereka merasa akan gagal mencapai tingkatan surgawi tertinggi. Menurut sahabat yang miskin itu, pelunag surgawinya tidak seperti para sahabat yang kaya dengan harta benda dan kekuasaaannya terus menerus bersedekah mencari pahala membangun suatu investasi surgawi.
Respon Nabi yang terdokumentasi dalam sebuah hadits shohih lebih jelas diterjemahkan dalam narasi terbuka dan bebas. Mendengar protes para sahabatnya itu, Nabi lalu bersabda bahwa semua orang dengan berasagm tingkat ssosial, ekonomi dan politik mempunmyai peluang setara untuk mencapai tataran tertinggi surgawi. Cara masuk surga tertinggi bagi ornag miskin,rakyat kebanyakan atau kaum awam, berbeda dengan kaum elite dan ahli agama. Kaum awam dan wong cilik bisa menambah peluang mencapai surge dengan mengucap beberapa kalimat thoyyibah, yaitu: Alhamdulillah, subhanallah, lailahaillalah, dan allahu akbar.
Berdasar hadis nabi diatas, kesurgawian, kesalehan atau ketaqwaan seseorang tidak hanya diukur dengan ukuran formal, seperti yang selama ini dikhutbahkan para elite keagamaan.mereka bisa masuk surga dan berbuat saleh dengan cara mereka sendiri dan paham terhadap keagamaan yang banyak dipengaruhi tingkat sosial dan ekonomi masing-masing.

rasionalisasi kesurgaan atau keagamaan diatas, mungkin dipndang main-main. Namun hal itu penting dan strategis bagi pengembangan tafsir keagamaan ditengah kemungkinan lahirnya agama baru. Era baru IPTEK sekitar abad ke-19 sesudah renaissance dan zaman baru pencerahan, oleh sebagian ahli dipandang sebagai gejala kelahiran agama baru yang saintifik. Pandangan ini mengalir deras sesudah neitzhe menyatakan tentang kematian Tuhan. Bersamaan itu muncul konflik besar agama-agama yang melahirkan perang salib. Berbagai perang besar seperti barathayuda cerita pewayangan kemudian memperoleh legitimasi bukan hanya politik dan ekonomi, tetapi juga legitimasi keagamaan.
Disitulah sebenarnya letak dan makna dua kali perang dunia serta berbagai pembantaian manusia atas manusia yang lain, penindasan suatu bangsa atas bangsa lain. Itu pula yang mendasari kritik keras Karl Marx terhadap agama-agama besar dunia, gagasan HAM kemudian muncul dalam deklarasi PBB pada pertengahan abad ke-20 meluas menjadi kesadaran dunia bersama demokratisasi, yang menerobos batas-batas teritori Negara dan kebangsaan.


BAGIAN KEEMPAT
Pendidikan Islam ditengah Peradaban baru

A. Islam dalam dinamika politik umat
Walaupun kurang disepakati oleh elite islam pada umunya, apa yang dimaksud dengan islam kemudian dimenegrti olehg pemeluk agama sebagai ajaran yang diyakini benar secara mutlak dan sempurna. Islam dikatakan penguasa muslim cenderung berbeda dengan apa yang dimaksud oleh rakyat atau umat. Islam yang di maksud pendukung penguasa muslimm itu juga cenderung berbeda dengan apa yang dimaksud oleh mereka yang tidaak atau kurang mendukung. Sama halnya dengan islam yang dimaksud oleh muslim kaya dan miskin, intelektual dan awam.

Kenyataan di lapangan juga menunjukan variasi islam yang rumit dank dang saling berbeda dan bertentangan secara tajam. Hal ini banyak berkait dengan keyakinan tentang ke-Esaan. Kebenaran, dan kesempurnaan agama. Dalam hubungan itu penting bagi IAIN khususnya pusat penelitian untuk menjadikan kenyataan islam dilapangan dari semua pengikut golongan dan lapisan sosial itu sebagai fokus penelitian.
Inilah sebenarnya salah satu diantara persoalan penting mengenai reformasi pemikiran islam dalam perspektif politik, masalah itu juga berkaitan dengan respons masyarakat terhadap apa yang selama ini di maksud dengan perjuangan islam atau dakwah islam, termasuk pendidikan islam. Berbagai masalah tersebut menjadi signifikan ketika persiden terpilih Gus Dur dalam sidang umum MPR 1999 lalu ialah seorang elite santri pimpinan organisasi islam, yaitu PBNU.
Apa yang di maksud dengan islam atau umat islam pada akhirnya adalah apa yang di maksud oleh beragam umat pemeluk islam dari semua kelas dan golongan. Ketika orang menyimpuilkan adanya kemajuan segnifikan islam di bidang politik atau punlainnya, belum tentu disepakati oleh kelompok-kelompok lainnya. Boleh jadi kelompok lainnya menyimpulkan hal yang sebaliknya. Perbincangan antara elit intelektual muslim dan atau ulama kurang member peluang dialog kepada kaum awam dan mereka yang berada diluar system organisasi gerakan islam.
Dari kenyataan diatas banyak pihak yang menyimpulkan sebagai kegagalan perjuangan islam. Penyimpulan tersebut kemudian banyak dihubungkan dengan perkembangan pemikiran islam di Indonesia yang lebih sepesifik berkaitan dengan konsep Negara islam, dan islam sebagai dasar Negara. Terdapat sejumlah perbedaan antara keyakinan umat terhadap agamanya (islam) dengan realitas kehidupan sosial, politik dan ekonomi itu sendiri. Seluruh pemeluk islam dari semua zaman dan aliran serta kelas percaya dan meyakini kesempurnaan ajaran agamanya serta jaminan keselamatan, kesejahteraan dan kesuksesan hidup sosial, ekonomi dan politik.
Disisi lain, pemahaman terhadap makna teks ajaran islam itu juga berbeda-beda diantara ulama dan umat serta diantara suatu kelompok yang lainya, sehingga format ajaran islam itu beragam. Refomasi pemikiran islam juga perlu dikaitkan dengan masalah tersebut. Adalah penting untuk mengkaji untuk tujuan apa dan bagi siapa suatu reformasi pemikiran islam dilakukan. pertanyaan itu perlu dikaitkan dengan kenyataan rendahnya dukungan seluruh golongan dan lapisan umat terhadap seluruh organisasi gerakan islam, termasuk terhadap partai-partai islam.
Selama ini, gerakan atau partai islam tidak cukup bukti membela umat yang sengsara dan tertindas dari kaum buruh dan petani, sebaliknya justru mengecam mereka sebagai pelanggar syariat. Khotbah dan da’wah selama ini lebih terfokus ada pemberian ancaman neraka atau janji surga semata-mata yang tidak atau kurang relefan dengan pemecahan kongkrit terhadap masalah ril ekonomi dan politik yang dihadapi umat (lihat malik bin nabi, 1994). Kenyataanya semua itu bukan jaminan untuk menggerakan mayoritas umat tersebut mendukung gerakan atau partai islam.
Reformasi pemikiran islam dalam sah satu kontek dukungan politik islam umat terhadap gerakan atau partai islam pelu dilakukan perubahan model sosialisasi islam atau bahkan metodologi pemahaman islam. Sosialisasi atau penafsiran terhadap islam seharusnya tidak hanya dilakukan dari teks yang elitis semata-mata tetapi juga dari peroses dialogis dengan seluruh lapisan umat. Dengan demikian bisa diharapkan tumbuhnya suatu kesadaran baru islam yang lahir dari peruses induksi sosial, sehingga islam benar-benar menjadi bagian dari gerak dinamika sejarah mayoritas umat itu sendiri.


B. Islam Bagi Kesatuan Ilmu
Pengubahan setatus IAIN menjadi UIN tampak seperti gagasan hebat, namun belum menyelesaikan problem epistemologis. Hal yang sama juga terlihat dalam gagasan integrasi pendidikan islam dan pendidikan umum ke dalam sebuah system jika system epistemologis belum terpecahkan, berbagai kesulita akan dihadapi IAIN dan pendidikan islam tentang bagaimana menempatkan ilmu-ilmu keislaman atau studi islam selanjutya disebut ilmu islam didalam satu sistem dengan ilmu umum, dan sebaliknya.
Selama ini, IAIN menyakini bahwa ilmu-ilmu islam itu bukan hanya memiliki system dan teori kebenaran berbeda dari ilmu umum, tetapi hanya ilmu-ilmu islam yang dianggap benar. Ilmu-ilmu umumdipandang dan diletakan IAIN dan sarjana muslim pada umumnya kedalam ilmu sekuler yang dalam dirinya bertentangan dengan kebenaran ilmu-ilmu islam. Kecenderungan ideologis ini segera menimbulkan kesulitan ketika IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta berubah setatus menjadi (UIN). kesulitan demikian terlihat ketika uin seperti dikelola dua nahkoda, dimana ilmu-ilmu umum tetap berada dibawah depdiknas, dan ilmu-ilmu islam dibawah Depag.
kesulitan seperti diatas terlihat ketika salah satu lembaga pendidikan islam, madrasah, diubah setatusnya menjadi sekolah umum bercirikas islam. Pengubahhan demikian tidak menyelasaikan persoalan yang dihadapi madrasah yang menghadapi dilema diantara dua dunia. Madrasah dan lembaga pada umumnya, seperti halnya IAIN selalu menghadapi pilihan sulit diantara ilmu-ilmu islam disatu pihak dan ilmu umum dipihak lain , atau diantara kepentimgan akhirat dan kepentingan duniawi(lihat artikel penulis “dilemma madrasah diantara dua dunia” diharian kompas pada 23 november 2001, h. 35). Ilmu umum dipilih untuk dipelajari atas petimbangan peraktis bagi kepentingan lanjut dan bagi pemenuhan kebutuhan objektif dunia, khususnya dalam kaitan lapangan kerja. Namun, tanpa ilmu keagamaan, pemeluk islam selalu di hantui keraguan mengenai nasibnya sesudah kematian kelak.
Dilema ideologis, jua teologis diatas, bisa dipecahkan jika dibangun suatu system ilmu yang tidak mengenal batas antara ilmu umum dan ilmu agama. Sebagaimana keyakinan umat islam mengajarkan manusia memenuhi hidupnya di dunia ini secara saleh. Hidup secara saleh bukan dengan menolak kebutuhan duniawi dan hanya memahami ilmu bagi kepentinagan ritual hubungan manusia - Tuhan yang selama ini disebut ilmu agama/ialam,. Informasi dari Al-quran bukan hanya mengenai wilayah surgawi sesudah kematian, tetapi jua mengandung informasi tentang kehidupan alam duniawi ;
Dalam hubungan itu menjadi penting memahami kembali tesis pararelitas ilmu – ilmu yang dibangun dari penafsiran atas kitab Al-Quran dan ilmu-ilmu yang dibangun dari penelitian terhadap realitas alam semesta dari Alfarabi dan Ibnu Rusdi pandanagn kedua filsuf ini meniscayakan hanya ada satu ilmu yang bersumber dari dua model wahayu yaitu ; (1) wahyu yang dibacakan dalam kitab Al-Quran disebut ayat-ayat Qouliyah dan (2) wahyu yang diciptakan alam semesta dengan beragam bentuk hierarkis, disebut ayat-ayat Kauniyah. Tidak aka nada pertentangan diantara ilmu yang disusun dari kedua sumber wahyu itu, kecuali ilmu tentang keduanya salah atau salah satu salah.
Karena itu, persoalan ulama yang harus dipecahkan bukanlah bagaimana melakukan integrasi ilmu atau mengubah status IAIN menjadi UIN atau Madrasah menjadi Sekolah Umum berciri khas, namun bagaiman konsep epistimologi didlam ajaran islam itu sendiri dijawab dan dirumuskan. Persolan tersebut yang diletakan secara berbeda dari ilmu-ilmu lain, bersumber dari problem politik dan ideology pasca. Keras imam ALGHOZALI tentang batalnya filsafat yang muncul di akhir abad ke-10. Sayangnya, banyak orang-orang yang salah paham terhadap Imam tersebut dengan menempatkan semua cabang filsafat sebagai ilmu sesat dan karena itu haram dikembangkan dan dipelajari sekalipun. karena sesungguhnya ALGHOZALI tidak bermaksud demikian.
Kesalahpahaman atas pandangan imam ALGHOZALI diatas berkembang menjadi basis ideologis ketika gerakan pembaharuan Islam, terutama yang dipelopori Jamaluddin Al-Afghan mengembangkan sentimen “anti peradaban barat” yang oleh umumnya umat Islam dipandang dibangun dari nilai dan kebenaran sekuler dari basis filsafat yunani. Ilmu Islam dan peradaban Islam kemudian dibangun berbeda dari peradaban barat berbasis filsafat dan ilmu sekuler. Contohnya adalah logika Aristoteles yang oleh Al-Farabi diterjemahkan menjadi ilmu mantik sebagai dasar ilmu kalam atau ilmu tauhid atau ilmu ushuluddin, dan ilmu-ilmu Islam lainnya.
Berbeda dari apresiasi yang tinggi filsuf muslim awal terhadap filsafat yunani, khususnya pemikiran plato, Aris Toteles, dan Platinos, pengembangan ilmu pasca Ghozali dan terutama pasca gerakan pembaharuan Islam, dibangun diatas basis ideologis “ Anti Filsafat Barat dan Yunani”. Dari sini dikotomisasi ilmu ; Ilmu Islam dan Ilmu sekuler ilmu agama dan ilmu umum, pendidikan agama dan ilmu umum. Dalam perkembangan sejarah nasional, sentiment ideologis ini, menjadi latar belakang kelahiran IAIN sebagai tindak lanjut tuntutan dibentuknya DEPAG sebagai konpensasi “ Penyingkiran” tujuh kata piagam Jakarta, yang terkenal itu, dari pasal 29 UUD-1945.
Berdasarkan pemikiran diatas, nota kesepahaman diantara dua Departemen, DEPAG dan DEPDIKNAS, tentang pengubahan status IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beberapa tahun lalu. Pengubahan status IAIN yang ber sumber dari gagasan Integrasi tentang ilmu, umum dan islam atau ilmu sekuler dan ilmu-ilmu dakm dtudi islam, masih harus menjawab pertanyaan tentang apakah ilmu pengetahuan dan teknologi memang terdiri dari dua sistem sehingga memerlukan integrasi. Salah satu diantaranya ialah rancang bangun perubahan IAIN menjadi UIN dilontarkan oleh mentri agama, Tarmidzi Tahi






Jadi Pada Kesimpulannya.

Islam mengajarkan kepedulian kemanusiaa yang jauh lebih penting dari dan atas ritual pada Tuhan. Melalui ajaran ini kesalehan seorang muslim hanya akan mungkin dicapai jika Tuhan. Selain itu, seorang muslim akan mengenal Tuhan dengan baik jika ia juga mengenal secara baik kemanusian dirinya dan kemanusiaan pada umumnya.para rasul tuhan di utus kemuka bumi untuk menebarkan kasih sayang (rahmat bagi semua manusia dan seluruh alam makhluk ciptaan Tuhan.
Oleh karena itu, tidak ad pluralitas didalam doktrin Islaman kecuali ia dipandang sebagai ancaman. Agama dan Tuhan telah berubah dari harapan kemanusiaan menjadi suatu yang menakutkan dan ancaman bagi kaemanusiaan itu sendiri. Kesalehan kemudian berubah dari kepedulian pada kemanusiaan menjadi sebuah kesibukan ”mengurusi atau membela Tuhan” yang sebenarnya tidak perlu diurusi.
Globalisasi peradaban yang meluas beriringan dengan demokratisasi dan tuntutan penegakan HAM pun pada akhirnya tidak hanya mengubah tatanan budaya dan mengubah perilaku manusia, melainkan juga mendorong munculnya berbagai gagasan baru keagamaan (religiusitas), spiritualitas dan nilai-nilai sosial. Pada gilirannya hal ini memberi pengaruh yang signifikan pada kerja pendididkan, seperti halnya dihadapi oleh apa yang selama ini dikenal sebagai “pendidikan Islam” .








Daftar Pustaka

Abduh. M. 1965. Risalah Tauhid. Djakarta: Bulan Bintang.
Abdullah, M. Amin. 1998. “ Problem Epistimologis-Metodologis pen-
didikan Islam”. dalam Abdul Munir Mulkhan dkk. rekonstruksi
pendidikan dan Tradisi Pesantren, Religiusitas Iptek. hlm 49-65.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah, Taufik. 1987. Islam dan Masyarakat. Jakarta: LP3ES.
Ahmad, Mumtaz (ed). 1993. Masalah teori politik Islam. Bandung:
Mizan.
Al Jabiri, Muhammad Abed. 2000. Post tradisionalisme Islam.Yogyakarta : LKiS.
Al-Abrasyi, M.A. 1977. Dasar-dasar pokok Pendidikan Islam. Jakarta:
Bulan BIntang.
Al-Attan, S.M.A 1992. Konsep Pendidikan dalam Islam. Bandung: Mizan.
Al-Faruqi, I.R. 1988.Tauhid. Bandung: Pustaka.
Alfian. 1989. Muhammadiyah, The Politikal Behavior of A Muslim Modernist
Organization Under Dutch Colonialsm. Yogyakarta: Gadjah Mada
University press.
Ali, Fachry & Bahtiar Effendy. 1990. Merambah jalan Baru Islam; Rekon
struksi Pemikran Islam MAsa Orde Baru. Bandung: Mizan.
Al-Maududi, Abul ‘ala 1993. Hukum dan Konstitusi sisitem Politik Islam.
Bandung: Mizan.
Al –Syabiny., O.M.A. 1979. Falsafah Pendidilkan Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.

An Nahlawi, Abdurrahman 1995. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan
Masyarakat. Jakarta: Gempa Insan Press.
An-Na’im, Abdullah Ahmed. 1994. Dekonstruksi Syri’ah, jld I & II.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Arifin, N. 1993. Kapita Selekta Pendidikan ( Islam dan Umum). Jakarta:
Bumi Aksar.
As-Shiddieqy, H. 1973. Ilmu Tauhid. : jakara: Bulan BIntang.
Bakar, Osman. 1997. Hierarki Ilmu : Membangun Rangka- pikir Islamisasi
Ilmu. Bandung: Mizan.
Bakker, Anton . 1984. Metode-metode Filsafat. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Bakry, H. 1961. Di Sekitar Filsafat Scholastik Islam. Sala: AB Sitti
Sjamsijah.
Bellah, Robert N. 1976. Beyond Belief, Sessays on Religion in a Post-Traditional World . New York, Hagerstown, San Fransisco, London: Harper & Row, Publishers.








Bagian Pertama
PENDAHULUAN

Islam bagi kemanusiaan
Secara Normatif Islam mengajarkan kepedulian kemanusiaa yang jauh lebih penting dari dan atas ritual pada Tuhan. Melalui ajaran ini kesalehan seorang muslim hanya akan mungkin dicapai jika Tuhan. Selain itu, seorang muslim akan mengenal Tuhan dengan baik jika ia juga mengenal secara baik kemanusian dirinya dan kemanusiaan pada umumnya.para rasul tuhan di utus kemuka bumi untuk menebarkan kasih sayang (rahmat bagi semua manusia dan seluruh alam makhluk ciptaan Tuhan.
Dengan jelas Islam (Al-Quran dan Sunah Rasul) mengajarkan bahwa kesalehan akan diperoleh seseorang jika ia bisa memberikan kepada orang lain apa yang paling baik bagi dirinya. Hanya orang beriman yang bisa menghormati tetangga tetangga dan tamunnya. Dan Tuhan akan menjadi penolong seseorang jika ia menjadi penolong sesamanya. Semua kepedulian kemanusiaan itu harus diberikan tanpa memandang batasan formal keagamaan.
Permasalahannya menjadi lain ketika tafsir elite agama (ulama) tentang ajaran itu dipandang sebagai kebenaran tunggal dengan kesempurnaan mutlak seperti keyakinan terhadap kebeneran dan kesempurnaan Tuhan (Allah) itu sendiri. Tafsir dan aJaran lain bukan hanya salah, tetapi dipandang sebagai ancaman terhadap nasib pemeluk islam di dunia dan sesudah kematian kelak. Kemanusiaan dan pemihakan kemanusiaan hanya terletak di dalam tafsir sepihak tersebut. Bagi seorang Muslim yang saleh untuk menerima dan mengapresiasi HAM kecuali hal itu terletak didalm tafsir tunggal tersebut. Bahkan jua tidak bisa disadari adanya Pluralitas penafsiran atas sebuah teks ajaran justru diantara ulama apalagi diantara pemeluk Islam kelas awam.


Oleh karena itu, tidak ada pluralitas didalam doktrin Islaman kecuali ia dipandang sebagai ancaman. Agama dan Tuhan telah berubah dari harapan kemanusiaan menjadi suatu yang menakutkan dan ancaman bagi kaemanusiaan itu sendiri. Kesalehan kemudian berubah dari kepedulian pada kemanusiaan menjadi sebuah kesibukan ”mengurusi atau membela Tuhan” yang sebenarnya tidak perlu diurusi. Bukankah manusia dan alam ini seluruhnya adalah ciptaan Tuhan itu sendiri? Bagaimana mungkin makhluk ciptaan tuhan bisa membela dan mengurusi tuhan? Bukankankah kehadiran Tuhan dengan agama-Nya justru agar manusia bisa hidup sejahtra?
Sejarah islam yang mulai muncul beberapa abad sesudah Rasul Muhammad Saw wafat pada ahir abad ke-7, pemikiran kritis pada masa itu kemudian ditindas secara teologis ataupun politis oleh penguasa islam. Kekerasan teologis tersebut menjadi semakin membeku dan menjadi sebuah ideologi “jihad” dalam gerakan modernisasi disekitar abad ke-13. Hal ini makin mengeras sesudah kekalahan politik islam dan perang salib dengan runtuhnya Bagdad sebagai simbol kekuasaan politik islam. Islam bukan hanya tampil dalam wajah Syar’iah yang eksklusif, kaku dan keras, tetapi juga cenderung reaktif yang memandang perbedaan dan apa yang diluar dirinya sebagai ancaman nasib pemeluk islam secaraekonomi-politik dan nasib sesudah kematian. Dengan kata lain islam adalah agama yang mengatur seluruh kehidupan Aspek manusia.
Bagian Kedua
OTONOMI MANUSIA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Globalisasi peradaban yang meluas beriringan dengan demokratisasi dan tuntutan penegakan HAM, tidak hanya mengubah tatanan budaya dan mengubah perilaku manusia, melainkan juga mendorong munculnya berbagai gagasan baru keagamaan (religiusitas), spiritualitas dan nilai-nilai sosial. Pada gilirannya hal ini memberi pengaruh yang signifikan pada kerja pendididkan, seperti halnya dihadapi oleh apa yang selama ini dikenal sebagai “pendidikan Islam.” Tidak bisa lagi dihindari tuntutan redefinisi dan rekonsrtuksi pendidikan islam di tingkat gagasan dasar hingga tekhnik belajar mengajar selain tujuan yang hendak di capai serta kurikulum dan materi atau bahan ajar didalamnya.

Religiusitas Budaya Kontemporer
Media dan tekhnologi informasi berfungsi mempromosikan hal maksiat atau ma’rufat, tergantung siapa yang menguasai keduanya. Ditengah suguhan iklan yang didalam doktrin keagamaan klasik dipandang maksiat pada jam-jam laris, muncul berbagai liris lagu yang bersumber dari syair keagamaan, selain tayangan dialog spiritual pada jam-jam saat orang masih atau sudah tidur lelap. Produk hiburan dan humor pun terus marak, selaain bernuansa norak penuh eksploitasi daya seksual, tetapi juga menyuguhkan kritik sosial dan spiritual.
Dalam ekstirm kebaikan keburukan, ma’ruf-maksiat yang ramai seperti sekarang ini, remaja berada pada posisi paling rentan. Para pihak memamdang remaja sebagai manusia “setengah jadi” dan penuh pesona. Masa depan seseorang ditentukan oleh cara hidup pada masa remajanya ini. Cara pandang ini tampak dari pepatah Arab “Syubban al Yaum Rijaal ul Ghod” atau pun dari kata-kata bijak lainnya.
Daya pesona dan vitalitas di satu sisi serta kebelumjadian dirinya membuat remaja melihat dirinya dalam dua dunia citra dengan relaitas diri dan sosialnya. Psikolog sering melukiskan dilema ini sebagai fenomena dan momen krisis jatidiri. Tampaklah dua remaja yang serba tanggung dan membuatnya mudah dipengaruhi hal-hal serba baru yang ditanyangkan dunia citra iklan. Gejala diatas, bukan hanya karena dunia Barat mempunyai ideologi tersembunyi dalam berbagai perkembangan IPTEK, tetapi juga karena dunia lain selalu kalah bersaing menjajakan ide-ide budaya yang menarik bagi remaja.





Bagian Ketiga
KESALEHAN FUNGSIONAL DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Spiritualitas Ke-nusantarana-an Ditengah Perubahan Sosial
Ketahanan suatu ide dan pandangan atau paham di dalam diri orang atau kelompok sosial ditentukan oleh posisi dan seberapa ia berakar di dalam “dunia bathin”-Nya, wawasan nusantara yang hanya sebagai konsensus politik atau hasil pemikiran, mudah pudar bersama perubahan sosial dan wawasan hidup seseorang, wawasan nusantara akan tetap segar jika memiliki daya spiritual dan kesadaran di dalam diri orang atau warga bangsa “Wawasan Nusantara”.Seharusnya selalu disegarkan kembali dan didialogkan bersama seluruh warga suatu bangsa tersebut.

1. Etika Indonesia Baru, Tuhan Pun Tak Perlu Diurus
Orde baru yang runtuh pada tahun 1998 oleh gerakan reformasi yang dimotori Mahasiswa, menendai era baru kehidupan kebangsaan yang lebih demokratis dan berkeaadilan. Gerakan reformasi memang membuka peluang bagi tumbuhnya alam baru kehidupan kebangsaaan itu, namum bukan berarti otomatis seluruh dinamika politik nasional berkesesusaian dengan dasar dan pesan etik dan moral reformasi. Perkembangan politik nasional akhir-akhir ini belum menunjukan arah yang jelas ke arah idealitas reformasi.
Idealitas pemerintahan yang bersih dan transparan, kehidupan politik yang demokratis, penegakkan hukum, keadilan sosio-politik-ekonomi bagi rakyat kebanyakan adalah tahap perubahan transformatif. “Indonesia Baru” yang demokratis dan bermartabat, berkeadilan dan sejahtera, perlu sejumlah prasyarat budaya. Dari sini, reformasi merupakan format transformasi kultural berbasis etika kemanusiaan parenial dan berkerifan tradisional. Namun reformasi bukan jalan lapang dimana semua masalah tampak jernih dan terang “Indonesia Baru” Juga bisa berupa “Lorong Gelap”
Ironinya, tradisi keagamaan gagal ditempatkan sebagai penguat bagi pembelaan manusia dan rakyat yang miskin.dan menderita serta terancam. Lebih ironis, publik terangkap menjadikan nilai kultural keluarga sebagai dasar etika sosio-politik dan ekonomi. Akibatnya, perbedaan pendapat, partai, agama dan etnis sebagai lembaga konflik, sulit memahami pandangan dan kritik pihak lain secara jernih dan objektif.
Indonesia Baru harus dibangun diatas basis etika kerifan di dalam pluralitas kemanusioaan. Seluruh teori dan praktik politik, kenegaraan dan keamanaan diletakkan sebagai usaha konseptual bagi promosi kemanusiaan perbedaan adalah dasar bagi pengembangan dialog mencari konsensus bagi kesejahteraan sosial, ekonomi polotik, dan keagamaan.

a. Premanisme Konflik Dan Akar Budaya Indonesia
Rumitnya jalan demokrasi sesudah runtuhnya ORBA 21 mei 1998 bisa dijelaskan dari akar budaya negri seribu etnis ini selama masa kemerdekaan bangsa ini tidak mempunyai ruang manifestasi dibawah doktrin nasionalitas dan kebangsaan. Ruang manifestasi budaya itu mulai terbuka sesudah gerakan reformasi. Namun, bangsa ini tidak mempunyai mode manifestasi dan sistem yang ada tidak memberi toleransi maka munculah berrbagai bentuk disintegrasi (konflik).
Para elite terus muncul dengan berbagi pernyataan saling bertentangan dengan tokoh politik hal ini ditunjukan dalam temu muka dengan tuan rumah raja Yogya. Masyarakat seperti terbius seolah temu muka dengan elit Yogya itu bisa menyelesaikan semua krisis. Masing-masing elit dan pendukung setianya memandang dirinya berada dijalur konstitusi dan reformasi yang demokratis.
Tindak korupsi yang merajalela selama ORBA bersama KKN yang dilakukan elite tidak hanya sulit diberantas tetapi jua cendrung terus berlangsung. Masyarakat sulit mempercayai aparat penegak hukum karena di mata mereka aparat justru senantiasa berdiri tegak membela kelas kuasa. Muncul gejala premanisme di tengah masyarakat yang selama ini dikenal religius yang mayoritas memeluk Islam. Masyarakat penduduk Indonesia memang memeluk agama Islam namun, perilaku hidupnya dipengaruhi banyak faktor antara lain: etnisitas, geo-budaya dan kelas.

b. Kearifan Negarawan Dan Kerakyatan
Suhu politik tampak memanas menjelang ST (Sidang Tahunan), kekritisan DPR dan MPR pada presiden kurang atau tidak produktif ketika tiap kritik dicurigai menyimpan agenda “siliuman”. Masih segar di ingatan bagaimana Gus Dur mengecam anggota DPR seperti TK (Taman Kanak-kanak) saat meminta penjelasan likuidasi beberapa departemen di awal pemerintahannya. Berbagai kebijakan Gus Dur dipandang kontroversial dan tidak konsisten sehingga segera mendorong DPR menggunakan hak “interpelasi”.
Membuka kesadaran dan pikiran adalah dasar kearifan negarawan dan kerakyatan encari titik temu konsensus pembebasan bangsa dari krisis yang meluas menjadi krisis budaya. Kearifan adalah kemampuan dan kesediaan melihat jauh, menerobos batas struktur sosial-budaya, politik dan keagamaan.

2. Akar Budaya “Lingkaran Setan” Perilaku KKN
Pemberantasan KKN merupakan agenda reformasi paling rumit yang hingga kini belum menandakan kejelasan. Keberhasilan pemberantasan KKN tergantung keberanian elite yang jujur ke diri sendiri, sistemnya jelas dan rasional, sanksi hukum yang tegas, sanksi sosial yang keras, jika perlu amputasi sosial. Karena itu, kontrol dan transparansi dari tiap kebijakan dan tindakan pejabat pemerintah penting dilaksanakan sebagai kebaikan publik dan syarat fungsional.
a. Memahami Akar Sejarah KKN
Etos “mangan ora mangan asal kumpul” yang mencerminkan ide kesatuan, sekaligus juga etika nepotis yang meraambah ke kolusi dan korupsi. Kondisi budaya KKN bisa ditelusuri pada latar sejarah keterjajahan lebih dari 3 abad, sehingga bangsa ini kurang terbuka dan percaya pada sistem. Selain itu, seperti negeri lain, sejarah kerajaan dan sosial seperti pesantern dan usaha ekonomi, adalah usaha keluaarga. Negara dan kekuasaan dipercaya sebgai sesuatu yang sakral dan hanya bisa sdisentuh oleh orang-orang khusus. Yang memang sudah di takdirkan untuk berkuasa. Raja adalah representasi dari kekuasaan tuhan, atau ketuhanan.
Birokrasi dan birokrat ditetapkan sebagai pelaku yang serba benar dan baik demi kepentingan bersama dan rakyat. Gaji seorang pegawai bukan karena pekerjaan jasa layanan pemerintah tapi karena pegawai. Layanan publik dianggap sebagai hak pegawai menerima “hadiah” dari yang memeperoleh layanan. Tugas poko pegawai justru melayani pemerintah/atasannya. Sehingga muncul paradoks ketika publik memberi “hadiah” lebih dahulu baru layanan publik dilakukan pegawai. Jadilah KKN sebagai mutualis simbiosis asal saling untuk “lingkaran setan”, sehingga masyarakat memberi peluang KKN. KKN sering dilakukan sebagai kebaikan atau darurat pada tataran tertentu sering memperoleh pembenaran budaya dalam arti ada nilai-nilai sosial yang membiarkan, mendororng, dan mengharuskan. Hal ini adalah akibat karena manusia tidak dapat hidup sendirian.
b. Nilai-Nilai Kultural KKN
Penempatan jabatan sebagai kehormatan berlebihan merupakan kondisi efektif nilai-nilai budaya berfungsi menumbuhkan KKN. Birokrasi menjadi rasionalisasi feodalisme elitis dan sistem rasional yang terbuka menjadi tidak berfungsi. Nilai-nilai berikut ini bisa mendorong korupsi “Nilai robinhood; rasa etik membantu rakyat dari KKN. “nilai sukses dan takut gagal”; mendorong penyimpangan agar tidak di peramlukan secara sosial. Nilai efisiensi; bagi tujuan promosi jabatan dalam tempo singkat, tidak sabaran antri. Nilai hedonis; kekuasaan materiil, meletakan pangkat dan harta sebagai ukuran sukses.
Nilai balas jasa; wajib berterima kasih/memberi hadiah materiil. Nilai individualis; peletakan oknum lebih penting dari sistem. Nilai feodalis; memandang elite lebih penting dari massa. Niai teologis; jabatan atau nasib sebagai takdir (tibaan) tanpa tanggung jawab publik. Nilai magis pembujukan tuhan; melalui perantaraan elite, sehingga ketentuan hukum tergantung penafsiran elite. Nilai-nilai yang mendorong kolusi, berikut ini sekaligus berkelindan dengan nepotis, yakni nilai kesetia kawanan, kekeluargaan, dan kepercayaan.


c. Keluar dari Lingkaran Setan
Revolusi harapan atau revolusi mental perlu dipertimbangkan dalam menghadapi persoalan diatas, reformasi hukum (legal-formal) dan politik semata masih perlu diperkuat reformasi budaya dan etika sosial.
Reformasi budaya menimbulkan kesadaran etik, kesusialaan, kepatutan, dan norma hukum (pasal 1 ayat 6). Namun, perlu sistem sosial yang disadari publik. Kelambatan pemberantasan KKN Adalah akibat asas ini tidak tumbuh secara sistematik. Juga, akuntabilitas dan keterbukaan (pasal 3 ayat 1-7). Tanpa etika ini, penegakan hokum pun dilakukan menghindari kemungkinan “menimbulkan aib” yang bersangkutan dan keluarganya (TOR hal. 3). Sebaliknya, aib harus dijadikan dasar bagi tumbuhnya system social yang efektif dan rasional. Dalam UU No. 8 Tahun 1999 Pasal 5 perlunya dinyatakan bernegara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat.
Pasal ini juga menyatakan penyelenggaraan Negara harus “melaporkan dan mengumumkan kejayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat. Peran masyarakat memberantas KKN pasal 9: “ hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara Negara.


3. Prasyarat Budaya Kemandirian Masyarakat Warga
Berbagai istilah politik, sosial, dan ekonomi cenderung dipakai aktivis Islam untuk maksud ganda. Di satu sisi sebagai petunjuk kesesuaian islam dengan ide-ide social popular. Namun, disisi lain dipakai untuk menjelaskan norma sosial islam yang lebih unggul dan benar dibandingkan semua ide dari pengetahuan modern. Berbagai ostilah demokrasi, masyarkat madani (sipil), HAM, kemandirian, dan pluralism cenderung dipakai bagi arti yang di biaskan tersebut.
Konsep sosial yang dasar ontologisnya bersumber dari dinamika sosial, hanya benar dan baik sepanjang bisa dicari rujukannya al Qur’an dan as Sunnah atau pemikiran Ulama. Disinilah pentingnya meletakkan konsep paralelitas ayat qauliyah dan kauniyah al Farabi (Rahman, 1984), sebagai dasar pengemabangan dasar pengembangan konsep dan praktik demokrasi yang bisa menjembatani kebenaran teologis dan sosiologis.
Konsep kemandirian warga dalam tata ruang Negara-bangsa, penting dikaitkan dengan kritik atas ide “masyarakat sipil” dan “masyarakat madani” serta “masyarakat utama”. Fakta historis masyarakat madani adalah masyarakat yang hidup dibawah kendali Nabi Muhamad SAW pasca hijrah disekitar tahun 621 M sementara masyarakat sipil mengambil fakta historis dalam kehidupan warga sekitar abad ke-18 di kawasan eropa, khususnya yang karya adm fergusen bersamaan revolusi industri dengan ilmu pengetahuan ( GELNERR, 1998). Di konteks Muhammadiyah ide masyarakat utama makna dan fungsinya sama saja dengan masyarakat islam yang sebenarnya. Hal ini dapat dilihat dari AD Muhammadiyah ide masyarakat utama bisa dikaitkan dengan ide “Negara utama”.

4. Jalan “baru“ Solidaritas Muslim Bagi Kemanusiaan
Peran Muslim dalam peradaban baru di abad-abad mendatang, lebih mungkin dirancang dan digagas jika berbagai problem dirinya bisa dijernihkan dan dipecahkan. Masalah ini lebih disebabkan karena pemeluk Islam sibuk dengan dirinya sendiri yang tak pernah jelas dan terpecahkan. Konsensus atau negosiasi di atas bisa dilakukan untuk kepentingan sosial kolektif komunitas Muslim dalam beragam madzhab. Dengan demikian terbuka bagi Sunnis atau Syi’is, Sufis, Ahmadiyah, NU atau Muhammadiyah dan aliran lain untuk bisa saling belajar mengenai pengalaman kegagalan atau kesuksesan masing-masing.
Krisis negeri ini cenderung menjadi semakin ruwet justru ketika agama terlibat dan dilibatkan dai dalamnya. Jika saja ajaran agama dapat diletakkan dalam peta kebudayaan, banyak krisis dan konflik yang bermula dari masalah sosial, ekonomi dan politik yang kemudian memasukiwilayah keagamaan, akan bisa diurai dan dicarikan jalan pemecahan. Sayang, pikiran dan usaha demikian selalu ditolak dan dipandang melecehkan dan Tuhan itu sendiri.
Konflik yang antara lain mendorong tindak kekerasan itu justru bisa dipandang sebagai bagian pemenuhan ajaran Tuhan. Kesalehan kemudian dipandang bisa dicapai dengan tindakan “anti kemanusiaan” itu sendiri.Kegiatan keagamaan cenderung kurang memberi apresiasi masalah kebudayaan dan kurang peduli berbagai masalah sosial dan kemanusiaan. Tanpa pencerahan kebudayaan dalam keagamaan,
konflik keagamaan masih akan meluas, lebih keras, eksplosif dan passif. Klaim kemutlakan dan ketunggalan keagamaan sering tidak konsisten. Kegaiban Tuhan justru mengandaikan tidak ada tafsir yang benar-benar representatif karena hal itu bisa berarti meniadakan kegaiban atau kemahaunikan dan kemisteriusan Tuhan itu sendiri.
Tuhan dan agama-Nya yang tunggal itu terbuka bagi penafsiran yang beragam dan berbeda, bahkan bertentangan. Anehnya, setiap pemeluk cenderung melakukan klaim kemutalkan yang mustahil didialogkan, dikompromikan dan diadaptasikan dengan berbagai persoalan aktual yang muncul sesudah suatu klaim dinyatakan. Ajaran agama kemudian diyakini bebas dari intervensi budaya yang dipandang merusak ajaran agama dan melanggar perintah Tuhan.
Orang pun menjadi tertarik jalan sekuler yang ternyata juga tidak mempunyai pengalaman cukup cerdas menyelesaikan konfllik. Namun, setidaknya ada pintu dialog bagi setiap orang melakukan konsensus, karena keagamaan pada akhirnya adalah produk dinamika sosial penganutnya. Melihat berbagai gejala konflik dan sikap elite agama tersebut adalah penting untuk secara jujur dan terbuka melakukan kritik terhadap format keagamaan yang selama ini berkembang dan disosialisaikan melalui berbagai kegiatan dan lembaga keagamaan.
Agama baru mungkin terpaksa akan lahir, ketika praktek keagamaan dari agama-agama besar dunia tampak enggan terlibat dalam penyelasaian banyak masalah kemanusiaan. Tradisi keagamaan yang selama ini cenderung elitis tidak lagi sesuai dengan penegakan , dan demokratisasi yang justru bisa menghambat. Kesenjangna surgawi yang di sebabkan oleh kesenjangan sosial, ekonomi dan politik diatas, sudah muncul dalam sejarah awal agama-agama besar dunia. Hal serupa juga bisa dibaca dari sejarah risalah kenabian Muhammad SAW.
Suatu saat, pada sahabat Nabi yang miskin menyampaikan protes karena kemisikinannya mereka merasa akan gagal mencapai tingkatan surgawi tertinggi. Menurut sahabat yang miskin itu, pelunag surgawinya tidak seperti para sahabat yang kaya dengan harta benda dan kekuasaaannya terus menerus bersedekah mencari pahala membangun suatu investasi surgawi.
Respon Nabi yang terdokumentasi dalam sebuah hadits shohih lebih jelas diterjemahkan dalam narasi terbuka dan bebas. Mendengar protes para sahabatnya itu, Nabi lalu bersabda bahwa semua orang dengan berasagm tingkat ssosial, ekonomi dan politik mempunmyai peluang setara untuk mencapai tataran tertinggi surgawi. Cara masuk surga tertinggi bagi ornag miskin,rakyat kebanyakan atau kaum awam, berbeda dengan kaum elite dan ahli agama. Kaum awam dan wong cilik bisa menambah peluang mencapai surge dengan mengucap beberapa kalimat thoyyibah, yaitu: Alhamdulillah, subhanallah, lailahaillalah, dan allahu akbar.
Berdasar hadis nabi diatas, kesurgawian, kesalehan atau ketaqwaan seseorang tidak hanya diukur dengan ukuran formal, seperti yang selama ini dikhutbahkan para elite keagamaan.mereka bisa masuk surga dan berbuat saleh dengan cara mereka sendiri dan paham terhadap keagamaan yang banyak dipengaruhi tingkat sosial dan ekonomi masing-masing.

rasionalisasi kesurgaan atau keagamaan diatas, mungkin dipndang main-main. Namun hal itu penting dan strategis bagi pengembangan tafsir keagamaan ditengah kemungkinan lahirnya agama baru. Era baru IPTEK sekitar abad ke-19 sesudah renaissance dan zaman baru pencerahan, oleh sebagian ahli dipandang sebagai gejala kelahiran agama baru yang saintifik. Pandangan ini mengalir deras sesudah neitzhe menyatakan tentang kematian Tuhan. Bersamaan itu muncul konflik besar agama-agama yang melahirkan perang salib. Berbagai perang besar seperti barathayuda cerita pewayangan kemudian memperoleh legitimasi bukan hanya politik dan ekonomi, tetapi juga legitimasi keagamaan.
Disitulah sebenarnya letak dan makna dua kali perang dunia serta berbagai pembantaian manusia atas manusia yang lain, penindasan suatu bangsa atas bangsa lain. Itu pula yang mendasari kritik keras Karl Marx terhadap agama-agama besar dunia, gagasan HAM kemudian muncul dalam deklarasi PBB pada pertengahan abad ke-20 meluas menjadi kesadaran dunia bersama demokratisasi, yang menerobos batas-batas teritori Negara dan kebangsaan.


BAGIAN KEEMPAT
Pendidikan Islam ditengah Peradaban baru

A. Islam dalam dinamika politik umat
Walaupun kurang disepakati oleh elite islam pada umunya, apa yang dimaksud dengan islam kemudian dimenegrti olehg pemeluk agama sebagai ajaran yang diyakini benar secara mutlak dan sempurna. Islam dikatakan penguasa muslim cenderung berbeda dengan apa yang dimaksud oleh rakyat atau umat. Islam yang di maksud pendukung penguasa muslimm itu juga cenderung berbeda dengan apa yang dimaksud oleh mereka yang tidaak atau kurang mendukung. Sama halnya dengan islam yang dimaksud oleh muslim kaya dan miskin, intelektual dan awam.

Kenyataan di lapangan juga menunjukan variasi islam yang rumit dank dang saling berbeda dan bertentangan secara tajam. Hal ini banyak berkait dengan keyakinan tentang ke-Esaan. Kebenaran, dan kesempurnaan agama. Dalam hubungan itu penting bagi IAIN khususnya pusat penelitian untuk menjadikan kenyataan islam dilapangan dari semua pengikut golongan dan lapisan sosial itu sebagai fokus penelitian.
Inilah sebenarnya salah satu diantara persoalan penting mengenai reformasi pemikiran islam dalam perspektif politik, masalah itu juga berkaitan dengan respons masyarakat terhadap apa yang selama ini di maksud dengan perjuangan islam atau dakwah islam, termasuk pendidikan islam. Berbagai masalah tersebut menjadi signifikan ketika persiden terpilih Gus Dur dalam sidang umum MPR 1999 lalu ialah seorang elite santri pimpinan organisasi islam, yaitu PBNU.
Apa yang di maksud dengan islam atau umat islam pada akhirnya adalah apa yang di maksud oleh beragam umat pemeluk islam dari semua kelas dan golongan. Ketika orang menyimpuilkan adanya kemajuan segnifikan islam di bidang politik atau punlainnya, belum tentu disepakati oleh kelompok-kelompok lainnya. Boleh jadi kelompok lainnya menyimpulkan hal yang sebaliknya. Perbincangan antara elit intelektual muslim dan atau ulama kurang member peluang dialog kepada kaum awam dan mereka yang berada diluar system organisasi gerakan islam.
Dari kenyataan diatas banyak pihak yang menyimpulkan sebagai kegagalan perjuangan islam. Penyimpulan tersebut kemudian banyak dihubungkan dengan perkembangan pemikiran islam di Indonesia yang lebih sepesifik berkaitan dengan konsep Negara islam, dan islam sebagai dasar Negara. Terdapat sejumlah perbedaan antara keyakinan umat terhadap agamanya (islam) dengan realitas kehidupan sosial, politik dan ekonomi itu sendiri. Seluruh pemeluk islam dari semua zaman dan aliran serta kelas percaya dan meyakini kesempurnaan ajaran agamanya serta jaminan keselamatan, kesejahteraan dan kesuksesan hidup sosial, ekonomi dan politik.
Disisi lain, pemahaman terhadap makna teks ajaran islam itu juga berbeda-beda diantara ulama dan umat serta diantara suatu kelompok yang lainya, sehingga format ajaran islam itu beragam. Refomasi pemikiran islam juga perlu dikaitkan dengan masalah tersebut. Adalah penting untuk mengkaji untuk tujuan apa dan bagi siapa suatu reformasi pemikiran islam dilakukan. pertanyaan itu perlu dikaitkan dengan kenyataan rendahnya dukungan seluruh golongan dan lapisan umat terhadap seluruh organisasi gerakan islam, termasuk terhadap partai-partai islam.
Selama ini, gerakan atau partai islam tidak cukup bukti membela umat yang sengsara dan tertindas dari kaum buruh dan petani, sebaliknya justru mengecam mereka sebagai pelanggar syariat. Khotbah dan da’wah selama ini lebih terfokus ada pemberian ancaman neraka atau janji surga semata-mata yang tidak atau kurang relefan dengan pemecahan kongkrit terhadap masalah ril ekonomi dan politik yang dihadapi umat (lihat malik bin nabi, 1994). Kenyataanya semua itu bukan jaminan untuk menggerakan mayoritas umat tersebut mendukung gerakan atau partai islam.
Reformasi pemikiran islam dalam sah satu kontek dukungan politik islam umat terhadap gerakan atau partai islam pelu dilakukan perubahan model sosialisasi islam atau bahkan metodologi pemahaman islam. Sosialisasi atau penafsiran terhadap islam seharusnya tidak hanya dilakukan dari teks yang elitis semata-mata tetapi juga dari peroses dialogis dengan seluruh lapisan umat. Dengan demikian bisa diharapkan tumbuhnya suatu kesadaran baru islam yang lahir dari peruses induksi sosial, sehingga islam benar-benar menjadi bagian dari gerak dinamika sejarah mayoritas umat itu sendiri.


B. Islam Bagi Kesatuan Ilmu
Pengubahan setatus IAIN menjadi UIN tampak seperti gagasan hebat, namun belum menyelesaikan problem epistemologis. Hal yang sama juga terlihat dalam gagasan integrasi pendidikan islam dan pendidikan umum ke dalam sebuah system jika system epistemologis belum terpecahkan, berbagai kesulita akan dihadapi IAIN dan pendidikan islam tentang bagaimana menempatkan ilmu-ilmu keislaman atau studi islam selanjutya disebut ilmu islam didalam satu sistem dengan ilmu umum, dan sebaliknya.
Selama ini, IAIN menyakini bahwa ilmu-ilmu islam itu bukan hanya memiliki system dan teori kebenaran berbeda dari ilmu umum, tetapi hanya ilmu-ilmu islam yang dianggap benar. Ilmu-ilmu umumdipandang dan diletakan IAIN dan sarjana muslim pada umumnya kedalam ilmu sekuler yang dalam dirinya bertentangan dengan kebenaran ilmu-ilmu islam. Kecenderungan ideologis ini segera menimbulkan kesulitan ketika IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta berubah setatus menjadi (UIN). kesulitan demikian terlihat ketika uin seperti dikelola dua nahkoda, dimana ilmu-ilmu umum tetap berada dibawah depdiknas, dan ilmu-ilmu islam dibawah Depag.
kesulitan seperti diatas terlihat ketika salah satu lembaga pendidikan islam, madrasah, diubah setatusnya menjadi sekolah umum bercirikas islam. Pengubahhan demikian tidak menyelasaikan persoalan yang dihadapi madrasah yang menghadapi dilema diantara dua dunia. Madrasah dan lembaga pada umumnya, seperti halnya IAIN selalu menghadapi pilihan sulit diantara ilmu-ilmu islam disatu pihak dan ilmu umum dipihak lain , atau diantara kepentimgan akhirat dan kepentingan duniawi(lihat artikel penulis “dilemma madrasah diantara dua dunia” diharian kompas pada 23 november 2001, h. 35). Ilmu umum dipilih untuk dipelajari atas petimbangan peraktis bagi kepentingan lanjut dan bagi pemenuhan kebutuhan objektif dunia, khususnya dalam kaitan lapangan kerja. Namun, tanpa ilmu keagamaan, pemeluk islam selalu di hantui keraguan mengenai nasibnya sesudah kematian kelak.
Dilema ideologis, jua teologis diatas, bisa dipecahkan jika dibangun suatu system ilmu yang tidak mengenal batas antara ilmu umum dan ilmu agama. Sebagaimana keyakinan umat islam mengajarkan manusia memenuhi hidupnya di dunia ini secara saleh. Hidup secara saleh bukan dengan menolak kebutuhan duniawi dan hanya memahami ilmu bagi kepentinagan ritual hubungan manusia - Tuhan yang selama ini disebut ilmu agama/ialam,. Informasi dari Al-quran bukan hanya mengenai wilayah surgawi sesudah kematian, tetapi jua mengandung informasi tentang kehidupan alam duniawi ;
Dalam hubungan itu menjadi penting memahami kembali tesis pararelitas ilmu – ilmu yang dibangun dari penafsiran atas kitab Al-Quran dan ilmu-ilmu yang dibangun dari penelitian terhadap realitas alam semesta dari Alfarabi dan Ibnu Rusdi pandanagn kedua filsuf ini meniscayakan hanya ada satu ilmu yang bersumber dari dua model wahayu yaitu ; (1) wahyu yang dibacakan dalam kitab Al-Quran disebut ayat-ayat Qouliyah dan (2) wahyu yang diciptakan alam semesta dengan beragam bentuk hierarkis, disebut ayat-ayat Kauniyah. Tidak aka nada pertentangan diantara ilmu yang disusun dari kedua sumber wahyu itu, kecuali ilmu tentang keduanya salah atau salah satu salah.
Karena itu, persoalan ulama yang harus dipecahkan bukanlah bagaimana melakukan integrasi ilmu atau mengubah status IAIN menjadi UIN atau Madrasah menjadi Sekolah Umum berciri khas, namun bagaiman konsep epistimologi didlam ajaran islam itu sendiri dijawab dan dirumuskan. Persolan tersebut yang diletakan secara berbeda dari ilmu-ilmu lain, bersumber dari problem politik dan ideology pasca. Keras imam ALGHOZALI tentang batalnya filsafat yang muncul di akhir abad ke-10. Sayangnya, banyak orang-orang yang salah paham terhadap Imam tersebut dengan menempatkan semua cabang filsafat sebagai ilmu sesat dan karena itu haram dikembangkan dan dipelajari sekalipun. karena sesungguhnya ALGHOZALI tidak bermaksud demikian.
Kesalahpahaman atas pandangan imam ALGHOZALI diatas berkembang menjadi basis ideologis ketika gerakan pembaharuan Islam, terutama yang dipelopori Jamaluddin Al-Afghan mengembangkan sentimen “anti peradaban barat” yang oleh umumnya umat Islam dipandang dibangun dari nilai dan kebenaran sekuler dari basis filsafat yunani. Ilmu Islam dan peradaban Islam kemudian dibangun berbeda dari peradaban barat berbasis filsafat dan ilmu sekuler. Contohnya adalah logika Aristoteles yang oleh Al-Farabi diterjemahkan menjadi ilmu mantik sebagai dasar ilmu kalam atau ilmu tauhid atau ilmu ushuluddin, dan ilmu-ilmu Islam lainnya.
Berbeda dari apresiasi yang tinggi filsuf muslim awal terhadap filsafat yunani, khususnya pemikiran plato, Aris Toteles, dan Platinos, pengembangan ilmu pasca Ghozali dan terutama pasca gerakan pembaharuan Islam, dibangun diatas basis ideologis “ Anti Filsafat Barat dan Yunani”. Dari sini dikotomisasi ilmu ; Ilmu Islam dan Ilmu sekuler ilmu agama dan ilmu umum, pendidikan agama dan ilmu umum. Dalam perkembangan sejarah nasional, sentiment ideologis ini, menjadi latar belakang kelahiran IAIN sebagai tindak lanjut tuntutan dibentuknya DEPAG sebagai konpensasi “ Penyingkiran” tujuh kata piagam Jakarta, yang terkenal itu, dari pasal 29 UUD-1945.
Berdasarkan pemikiran diatas, nota kesepahaman diantara dua Departemen, DEPAG dan DEPDIKNAS, tentang pengubahan status IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beberapa tahun lalu. Pengubahan status IAIN yang ber sumber dari gagasan Integrasi tentang ilmu, umum dan islam atau ilmu sekuler dan ilmu-ilmu dakm dtudi islam, masih harus menjawab pertanyaan tentang apakah ilmu pengetahuan dan teknologi memang terdiri dari dua sistem sehingga memerlukan integrasi. Salah satu diantaranya ialah rancang bangun perubahan IAIN menjadi UIN dilontarkan oleh mentri agama, Tarmidzi Tahi






Jadi Pada Kesimpulannya.

Islam mengajarkan kepedulian kemanusiaa yang jauh lebih penting dari dan atas ritual pada Tuhan. Melalui ajaran ini kesalehan seorang muslim hanya akan mungkin dicapai jika Tuhan. Selain itu, seorang muslim akan mengenal Tuhan dengan baik jika ia juga mengenal secara baik kemanusian dirinya dan kemanusiaan pada umumnya.para rasul tuhan di utus kemuka bumi untuk menebarkan kasih sayang (rahmat bagi semua manusia dan seluruh alam makhluk ciptaan Tuhan.
Oleh karena itu, tidak ad pluralitas didalam doktrin Islaman kecuali ia dipandang sebagai ancaman. Agama dan Tuhan telah berubah dari harapan kemanusiaan menjadi suatu yang menakutkan dan ancaman bagi kaemanusiaan itu sendiri. Kesalehan kemudian berubah dari kepedulian pada kemanusiaan menjadi sebuah kesibukan ”mengurusi atau membela Tuhan” yang sebenarnya tidak perlu diurusi.
Globalisasi peradaban yang meluas beriringan dengan demokratisasi dan tuntutan penegakan HAM pun pada akhirnya tidak hanya mengubah tatanan budaya dan mengubah perilaku manusia, melainkan juga mendorong munculnya berbagai gagasan baru keagamaan (religiusitas), spiritualitas dan nilai-nilai sosial. Pada gilirannya hal ini memberi pengaruh yang signifikan pada kerja pendididkan, seperti halnya dihadapi oleh apa yang selama ini dikenal sebagai “pendidikan Islam” .








Daftar Pustaka

Abduh. M. 1965. Risalah Tauhid. Djakarta: Bulan Bintang.
Abdullah, M. Amin. 1998. “ Problem Epistimologis-Metodologis pen-
didikan Islam”. dalam Abdul Munir Mulkhan dkk. rekonstruksi
pendidikan dan Tradisi Pesantren, Religiusitas Iptek. hlm 49-65.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah, Taufik. 1987. Islam dan Masyarakat. Jakarta: LP3ES.
Ahmad, Mumtaz (ed). 1993. Masalah teori politik Islam. Bandung:
Mizan.
Al Jabiri, Muhammad Abed. 2000. Post tradisionalisme Islam.Yogyakarta : LKiS.
Al-Abrasyi, M.A. 1977. Dasar-dasar pokok Pendidikan Islam. Jakarta:
Bulan BIntang.
Al-Attan, S.M.A 1992. Konsep Pendidikan dalam Islam. Bandung: Mizan.
Al-Faruqi, I.R. 1988.Tauhid. Bandung: Pustaka.
Alfian. 1989. Muhammadiyah, The Politikal Behavior of A Muslim Modernist
Organization Under Dutch Colonialsm. Yogyakarta: Gadjah Mada
University press.
Ali, Fachry & Bahtiar Effendy. 1990. Merambah jalan Baru Islam; Rekon
struksi Pemikran Islam MAsa Orde Baru. Bandung: Mizan.
Al-Maududi, Abul ‘ala 1993. Hukum dan Konstitusi sisitem Politik Islam.
Bandung: Mizan.
Al –Syabiny., O.M.A. 1979. Falsafah Pendidilkan Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.

An Nahlawi, Abdurrahman 1995. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan
Masyarakat. Jakarta: Gempa Insan Press.
An-Na’im, Abdullah Ahmed. 1994. Dekonstruksi Syri’ah, jld I & II.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Arifin, N. 1993. Kapita Selekta Pendidikan ( Islam dan Umum). Jakarta:
Bumi Aksar.
As-Shiddieqy, H. 1973. Ilmu Tauhid. : jakara: Bulan BIntang.
Bakar, Osman. 1997. Hierarki Ilmu : Membangun Rangka- pikir Islamisasi
Ilmu. Bandung: Mizan.
Bakker, Anton . 1984. Metode-metode Filsafat. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Bakry, H. 1961. Di Sekitar Filsafat Scholastik Islam. Sala: AB Sitti
Sjamsijah.
Bellah, Robert N. 1976. Beyond Belief, Sessays on Religion in a Post-Traditional World . New York, Hagerstown, San Fransisco, London: Harper & Row, Publishers.

Minggu, 11 Oktober 2009

mengungkap misteri dibalik ICT.

assalamu'alaikum WrWb......

perkenalkan nama saya M.Faqihudin Ikhfa sebut saja "faqih"saya mahasiswa STMIK SUPRA Jakarta barat. Alhamdulillah dalam kesempatan yang berbahagia ini saya dengan sedikit keberanian dan sebatas pengetahuan yang saya miliki ini, saya akan mengungkapkan argumen saya menanggapi keberadaan dan efek momok yang disebut ICT.

ICT jadi,ICT...ya information communications technology... berarti teknologi yang menyuguhkan komunikasi dan informasi.sejenak kalau kita lirik dari sudut pandang sejarah dan tujuannya, kita tahu dan sadar betul kita sudah tidak lagi berada di jaman purbakala, jaman yang untuk makan saja masih sangat susah, makanan dan cara memperolehnya pun masih terbilang sangat brutal.betapa tidak? nenek moyang kita jika ingin makan dia harus membuat tombak,anak panah dsb, terus memburu hewan yang ada di hutan dan, tatkala sudah mendapatkannya?dia langsung mengoyak perut mangsanya dan langsung membakarnya, lalu beberapa menit kemudian kenyanglah perutnya.

tapi itu dulu, sekarang? kita tengah berada di jaman dimana segala halnya banyak dikaitkan dengan perbaikan-perbaikan, kemajuan demi kemajuan, demi kemaslahatan umat manusia di bumi ini. karena untuk tujuan itulah sosok ICT muncul di tengah tuntutan-tuntutan jaman yang kian menuntun kemakmuran. yakni jembatan yang akan menuntun manusia ke depan pintu gerbang kemajuan.

dari segi fungsi?

ICT sendiri menurut saya,akan berfungsi menjembatani manusia untuk mewujudkan tuntutan jamannya sekarang ini. terbukti dengan ditemukannya alat komunikasi telegram,telephone,manusia akan dengan lebih mudah untuk berinteraksi satu sama lain. Pun sama halnya dengan yang sekarang ini lagi ngetren-ngetrennya, yakni dunia maya internet, website, email, dsb. Jelas, dengan adanya layanan dunia maya ini manusia akan lebih mudah untuk tidak hanya berinteraksi, tapi juga lewat layanan ini manusia dapat dengan mudah mengakses informasi yang up to date berkawasan global " dunia ", dengan hanya duduk santai sambil menikmati secangkir kopi.

dari sudut pandang efeknya?

Perkembangan pesat di bidang teknologi Informasi dan Komunikasi (Information and Communication Technology, ICT) adalah sesuatu yang tak terelakkan dan selayaknya justru kita syukuri. Bahwa ICT bisa dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan negatif di kalangan generasi muda, hal itu tidak menutup kemungkinan sebaliknya, yaitu ICT juga bisa memberikan kemaslahatan yang luar biasa bagi umat manusia. Pada akhirnya, dampak ICT terpulang pada bagaimana kita menyikapi dan memanfaatkannya.

Demikian dinyatakan Vice President Public and Marketing Communication PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom) di Tasikmalaya (5/6). Telkom sebagai operator ICT terbesar di Indonesia, demikian Eddy Kurnia, menyadari betul pentingnya ICT sebagai tool yang sangat berguna di satu sisi, serta fakta bahwa teknologi tersebut bisa digunakan untuk berbagai tujuan, termasuk tujuan negatif, di sisi lain. “Untuk itulah, kami lalu gencar melakukan serangkaian program CSR seperti Internet Goes to School dan Santri Indigo,” ujarnya.


Dijelaskan, upaya membendung kemajuan teknologi bukan saja sulit, atau bahkan sia-sia, tetapi juga bisa menyebabkan hilangnya peluang masyarakat kita untuk maju mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain. Harapan Indonesia untuk menjadi bangsa yang maju tak mungkin tercapai kalau tidak didukung oleh prestasi nyata, sementara akan sulit sekali meraih prestasi tersebut di zaman sekarang bila tidak didukung oleh penguasaan ICT.

Upaya Telkom untuk meminimalisasi potensi negatif pemakaian ICT dilakukan dengan berbagai cara. Bahkan, beberapa waktu yang lalu Telkom memelopori skema berlangganan prabayar berbasis paket untuk layanan TelkomVision, yang memungkinkan pelanggan hanya memilih program-program TV Kabel tertentu. Artinya, para orang tua juga bisa mengarahkan tontonan putra-putrinya ke program-program yang sesuai.

Jembatan Silaturahim

Menurut Eddy Kurnia, begitu banyak kemaslahatan yang bisa kita petik dari kemajuan ICT. Beberapa di antaranya adalah ICT telah berfungsi sebagai jembatan yang mempermudah silaturahim antarumat manusia. Telepon, Internet, Teleconference, dan Video Conference, adalah sarana komunikasi interaktif yang mampu mengurangi kendala jarak dalam melakukan silaturahim.

ICT juga mempermudah umat dalam hal menjalankan ibadah. Sebagai contoh, ketika informasi tentang bencana alam terjadi di suatu tempat, orang bisa dengan mudah menyalurkan bantuannya melalui sarana SMS (Short Message Service). Operator telekomunikasi di Indonesia, termasuk Telkom, sering menyediakan nomor khusus untuk memfasilitasi penyaluran dana bantuan masyarakat bagi korban bencana alam, seperti program SMS 5000 yang diselenggarakan Telkom untuk menyalurkan bantuan bagi para korban bencana gempa bumi di Jogjakarta beberapa waktu lalu.

Eddy Kurnia lebih lanjut mengatakan keberadaan ICT telah membuka akses manusia terhadap sumber daya ilmu pengetahuan dan informasi. Internet adalah samudera ilmu dan pengetahuan yang luas, yang bila dimanfaatkan secara tepat dan optimal akan mampu meningkatkan kualitas hidup penggunanya dengan biaya yang sangat murah.

ICT di sisi lain jelas-jelas bisa dimanfaatkan sebagai wahana syiar dengan jangkauan yang tiada berbatas. Melalui milis, situs web, atau blog, seorang ustazd bisa dengan mudah menyampaikan syiar keagamaan ke audiens yang sangat luas, sekalipun mereka berada di wilayah atau negara yang jauh. Program Santri Indigo yang digagas Telkom terutama dimaksudkan untuk memfasilitasi potensi pesantren dalam menyampaikan syiar keagamaan kepada publik yang luas, selain untuk mengembangkan komunitas muslim digital melalui pemanfaatan ICT.

Bahkan, menurut Eddy Kurnia, ICT juga bisa menjadi wahana untuk meningkatkan tawaqal umat. Ia mencontohkan ada seorang eksekutif tidak bisa mengejar jadwal keberangkatan pesawat terbang karena ban mobilnya tiba-tiba kempes. Dimarahinya sopirnya habis-habisan karena dianggap lalai. Kemudian sambil menunggu ban mobil diganti ia berteduh di sebuah warung yang di dalamnya terlihat sebuah TV menayangkan berita. Betapa kagetnya dia ketika muncul sebuah berita tentang kecelakaan sebuah pesawat terbang yang gagal tinggal landas, yang ternyata bernomor sama dengan nomor penerbangan yang tertera pada ticket yang dibawanya. Seketika itu pula ia sadar bahwa kelalaian sopirnya saat itu tak lain dari kehendak Allah SWT untuk menyelamatkan dirinya. Emosinya gara-gara ban kempes langsung luluh karena kemampuan ICT yang memungkinkan ia mendapatkan informasi peristiwa begitu cepatnya.

Menurut Eddy Kurnia, di zaman ketika keberadaan ICT (khususnya Internet) membuat batas-batas negara dan budaya menjadi tidak lagi relevan, apa yang harus digalakkan adalah membangun akhlaq dan aqidah umat sekokoh mungkin. Tatkala akhlaq dan aqidah umat berhasil dibangun, maka ICT akan tak ubahnya seperti pisau yang tergeletak di dapur rumah, yang tidak merangsang keinginan apapun bagi penghuni rumah kecuali memanfaatkannya untuk membantu kegiatan rumah tangga sehari-hari. “Di sinilah peran para pemuka agama dan orang tua menjadi sangat penting, sementara operator ICT sendiri tentunya juga punya tanggung jawab moral untuk ikut mendorong penggunaan ICT ke arah yang positif,” kata E


mungkin inilah sekelumit pendapat saya, dalam berusaha mengungkap misteri dibalik momok yang sangat amat buming di era ini, dialah ICT.

terima kasih atas segala kunjungan mohon maaf atas segala kekurangan.
Akhir kata saya mengucapkan

Wassalamu'alaikum WrWb.